Thursday, 13 April 2017

Paterson, memfilmkan puisi.

Paterson, sebuah film drama yang bercerita mengenai supir bus dengan kegemarannya berpuisi. Nggak perlu ada spoiler, karena isi filmya hanya itu: bus dan puisi. Ah ada istrinya yang agak..weird dan anjingnya yang sedikit banyak menyebalkan.

Paterson menceritakan Paterson, sang supir bus di wilayah Paterson. Agak membingungkan memang, ketika nama anda dan nama kota tempat anda tinggal sama. Dari segi cerita, harus saya akui, film ini berjalan dengan sangat....lambat. Serta tidak ada fluktuasi ketegangan konflik dalam film. Tidak ada satu kejadian dalam film yang berbelok drastis atau menyobek perhatian kita. Kekuatan dari film ini adalah kenyamanan. Kita serasa melihat diary diri sendiri. Kealamian dalam setiap adegannya muncul dalam pikiran kita sebagai kemakluman dan pengakuan. Menonton Paterson serasa bukan menonton film, melainkan kita seperti diajak ikut tahu apa yang Paterson lakukan sehari-hari.

Mengenai konflik yang saya sebutkan di atas, sebenarnya bukan tidak ada. Paterson banyak menghadapinya, namun, semua itu adalah konflik yang ternyata sehari-hari kita alami. Menghadapi permintaan istri yang kurang masuk akal, diganggu seseorang saat lagi serius, melihat seorang anak kecil yang ternyata mungkin lebih hebat dalam bakat yang kita banggakan, semua konflik batin sehari-hari itu mewarnai keseluruhan film.

Mari bicara soal puisi.

Puisi dalam film ini cukup menyentuh. Khas-nya puisi modern berbahasa inggris, tak banyak bebungaan kata. Namun feel dalam kata-katanya begitu tulus dan jujur. Pengambilan gambar saat Paterson berpuisi menunjukkan sisi dramatik dari pekerjaan supir.

Kesimpulannya, film ini agak membuat mengantuk, namun gambar-gambar yang tersaji sangat indah, begitu pula puisinya. Ceritanya realistis, konflik sehari-hari yang kita semua bisa saja mengalaminya.

7.5/10

No comments:

Post a Comment