Friday, 7 April 2017

A Monster Call, terlalu berat untuk masyarakat Indonesia?

Saat memutuskan menonton A Monster Call akhir tahun lalu, saya sama sekali tak ada bayangan filmnya seperti apa. Melihat posternya di bioskop, saya menebak-nebak film ini akan berkisar mengenai anak-anak yang masuk ke dunia fantasial penuh monster.

We o we my friend, salah besar.

A Monster Call menyajikan cerita drama yang menyentuh ruang terdalam di hati manusia, ruang yang paling purba, dari alam bawah sadar masing-masing hidup: hubungan ibu dan anak. Gilanya, film ini lantas bukanlah menceritakan manis getir hubungan tersebut, melainkan langsung menyodorkan kita suatu keadaan pahit mengenai sang ibu yang harus dihadapi Conor, anak usia sekolah dasar -yang sering dibully teman-temannya, sendirian.
Sebuah pohon, secara menakjubkan, tiba-tiba hadir dalam hidup si anak berupa sebuah monster yang dapat berbicara lalu menceritakan beberapa kisah, yang pada akhirnya semua kisah tersebut akan mengajaknya melihat kehidupan.
Film ini terkesan dark di beberapa bagian, ada sentuhan fantasi pada si monster pohon, namun tentu, drama yang sangat solid tercipta di seluruh bagian film.
Ah, saya juga harus bilang bahwa pemeran Conor, Lewis MacDougall, benar-benar bagus dalam berperan.

Saya agak terkejut ketika ada artikel yang membahas A Monster Call di socmed dan reaksi masyarakat Indonesia dalam komentar yang bertebaran mengerucut pada satu hal: A Monster Call ga enak!

Kebanyakan commenter menyesalkan tidak adanya unsur fun, fantastical, terlalu gelap (cerita yang terlalu suram atau 'gloomy') bahkan ada yang bilang bahwa film ini akan mengajarkan anak-anak berimajinasi aneh-aneh.

Haha.
Pertama. Maaf bung, tidak ada yang bilang ini film anak-anak. Kedua. Bukankah Lord of the Ring atau Harry Potter malah lebih berpotensi membuat anak-anak, bahkan remaja, untuk mengkhayal aneh-aneh? Seperti misalnya berandai-andai Daniel Radcliffe akan menjadi pacarnya (seandainya mereka melihat Daniel berperan di Swiss Army Man!).

Saya mengerti, orang-orang pergi ke bioskop mencari hiburan. Dan berdasarkan survey dua detik yang saya lakukan di dalam otak, hampir 80% orang pergi ke bioskop bersama pacar atau teman-teman. Hanya segelintir yang memang ingin duduk santai menikmati film dan mencoba meresapi keindahan gambar-gambar bergerak tersebut. Bioskop menjadi pelarian untuk menghabiskan waktu dan uang bersama pacar atau teman-teman setelah tak tahu lagi harus nongkrong di mana. Jika yang seperti ini yang menonton A Monster Call, tentu wajar jika yang mereka dapat bukan tawa-tiwi kecil, melainkan 100 menit pesan-pesan mendalam yang mereka tak siap menerimanya.

Jujur, saya sendiri menangis ketika menontonnya di bioskop. Terlepas dari saya yang memang cengeng ketika menonton film, film ini memang layak mendapat air mata. Keindahan cara sang monster pohon membantu Conor menghadapi kondisi ibunya benar-benar luar biasa. Keras, kadang menyesakkan, namun pada akhirnya kita akan mengatakan "Ah, benar. Ya. Semuanya memang harus seperti itu."

Terakhir, A Monster Call adalah drama yang sangat bagus. Jika anda tak bisa menerimanya, ya tak apa. Karena A Monster Call memang bukan film untuk bersenang-senang.

No comments:

Post a Comment