Ada masa di Indonesia, stasiun-stasiun televisi serempak menyiarkan program-program animasi dari Negeri Sakura. Acara ini, kemudian secara jamak disebut dengan kartun, mengikuti animasi-animasi dari Amerika yang lebih dahulu terkenal oleh masyarakat seperti Tom & Jerry dan Mickey Mouse. Sementara itu di negara-negara barat, animasi dari Jepang lebih dikenal sesuai nama asli dari negara penciptanya: anime.
Anime merajai acara hiburan di Indonesia pada era
1990an akhir hingga 2000an awal. Judul-judul seperti Doraemon, Saint Seiya,
Sailormoon, Dragon Ball, menjadi kenangan indah bagi pemirsanya saat itu. Belum
lagi acara tokusatsu seperti Ksatria
Baja Hitam, Ultraman, atau Jiban, ikut meramaikan demam budaya Jepang. Kala
itu, sesungguhnya penonton anime bukan hanya kalangan anak-anak. Kultur otaku sudah mulai berkembang diantara
remaja dan dewasa di Indonesia. Namun, sepertinya yang berlanjut ke masa kini sedikit
melenceng.
Seperti yang saya katakan di awal, kala itu,anime
disamakan dengan kartun seperti Mickey Mouse atau Winnie the Pooh. Salah satunya
pula disokong dengan kepopuleran Doraemon, Dragon Ball atau Astroboy, yang
sejatinya memang diperuntukkan untuk semua umur, maka kartun ini dan kawan-kawannya, membentuk mindset pada orangtua bahwa anime adalah tayangan anak-anak.
Memasuki era 2000an awal, anime-anime dengan genre semua umur nyatanya semakin
banyak ditayangkan. Captain Tsubasa, Pokemon, Hamtaro, P-Man, Maruko Chan, Cardcaptor
Sakura, merupakan sedikt dari judul-judul yang target utamanya (di Jepang sana)
adalah anak dan remaja. Orangtua lantas tak ambil pusing dan membiarkan
anak-anak menonton kartun di televisi
rumah.
Demam budaya Jepang mulai menurun di awal dekade
selanjutnya. Pada tahun 2010, sudah sedikit anime yang tayang di televisi
nasional. Kalaupun tayang, hanya ada dua-tiga stasiun televisi yang ‘berani’
menyiarkannya. Itupun tak lama. Sementara itu, anak-anak yang tadi dibiarkan
menonton kartun oleh orangtuanya,
kini sudah beranjak dewasa. Sayangnya, sebagian dari mereka mengadopsi
pemikiran orangtua, bahwasanya anime adalah kartun dan untuk anak-anak, lalu
meninggalkannya. Adapun sebagian lain mungkin masih mengikuti anime-anime
kesukaannya yang ternyata belum selesai, lalu melanjutkan hobi mereka. Sementara
itu di Indonesia, mulai berkeliaran penjahat utama semua tayangan luar: sensor
film. Pada awal masa-masa sensor belum seketat sekarang saya ingat masih bisa
melihat Hisoka dan Gon dari serial Hunter X Hunter pukul-pukulan di televisi.
Namun lama kelamaan kita bahkan tidak bisa melihat Naruto berdarah karena di
alih warna menjadi hitam putih. Sensor menjegal anime. Mulai dari adegan
kekerasan hingga adegan sensual, sensor mulai membabat adegan-adegan di anime.
Anehnya pada saat yang bersamaan di masa kini, saya masih sering melihat
lelucon-lelucon jorok di acara-acara primetime. Saya masih gampang melihat
anak-anak muda pukul-pukulan di sinetron mengenai geng motor remaja.
Dan saya yakin ada hubungan sebab-akibat yang
menyebabkan hal ini: anime dianggap untuk anak-anak sehingga bila memiliki
adegan kekerasan atau seksual haruslah dibabat sehingga anime tak lagi
ditayangkan di televisi karena televisi lebih banyak merugi karena penontonnya
tak lagi menikmati anime tersebut.
Seiring demikian, orang-orang yang masih ingin
melihat nasib Konoha dan penasaran dengan petualangan Luffy mulai mencari
kelanjutan seri favorit masing-masing melalui internet. Ironisnya, fans anime
seperti mereka banyak dianggap kekanak-kanakan, tak kunjung beranjak dewasa
(seperti mereka), atau malah dicap orang aneh. Mindset ‘kartun itu untuk anak-anak’ masih melekat di otak
orangtua, dan bertumbuh pula di kalangan dewasa baru.
Karena apa? Karena anime tak lagi ada di televisi.
Dan kalaupun ada, pihak televisi langsung menyasar
penonton anak. Wajar bila orang-orang tak lagi terbiasa dan menganggap
orang-orang yang mencari kartun tersebut
adalah orang-orang yang kekanak-kanakan.
Di Jepang sendiri, sebenarnya anime lebih banyak
tayang pada malam hari. Ini karena mereka mengerti, bahwa tayangan anime memang
kebanyakan bukan untuk anak. Lalu, apakah kita bisa mengubah mindset tadi?
Seharusnya bisa. Dan sejujurnya, ada sangat banyak
sekali judul-judul anime yang jauh lebih berkualitas dan memiliki pesan moral
daripada film-film Hollywood populer yang masih cukup reguler ditayangkan di
televisi nasional.
Saya sendiri memiliki saran, untuk mengubah persepsi
bahwa anime adalah santapan anak-anak, seharusnya stasiun televisi mulai
melirik anime-anime ‘dewasa’ yang tak banyak mengandung konten kekerasan dan
seksualitas untuk ditayangkan, di jam-jam film malam hari pukul 21.00 atau
22.00. Sebut saja judul-judul seperti Mushishi, Space Brother, Silver , Spoon,
atau Natsume Yuujinchou. Untuk lebih memberi kesan bahwa tayangan tersebut
untuk dewasa, sebaiknya stasiun televisi tak perlu mengalih bahasakan
anime-anime tersebut. Cukup diberi subtitle
Indonesia seperti halnya film-film bioskop yang tayang di televisi.
Baik, mungkin ada kendala di harga. Hak siar anime,
apalagi yang umur tayang di negara asalnya masih baru hitungan tahun, sangat
mahal. Dan lagi pasti ada kekhawatiran mengenai laku atau tidaknya judul
tersebut bila dibawa masuk Indonesia. Namun saya pikir, dengan berkembangnya
internet dan cepatnya penyebaran informasi, sepertinya tidak sulit untuk
memasarkannya dan mengharap rating share yang
baik. Buktinya, film-film anime yang belakangan mulai ramai kembali dibawa
masuk oleh salah satu jaringan bioskop dalam negeri, selalu ditunggu banyak
peminat. Begitupula forum-forum dan akun-akun media sosial yang mengatasnamakan
penggemar anime, pengikutnya bisa sampai puluhan ribu. Badan sensor yang
terkesan tebang pilih masih bisa diatasi dengan menghadirkan anime-anime yang ‘aman’
dikonsumsi bahkan oleh remaja. Dan saya rasa ada perlunya pihak stasiun
televisi mempekerjakan orang-orang yang lebih paham mengenai seluk beluk
tayangan asing –bukan hanya anime agar tayangan di televisi nasional tidak
monoton dan membosankan.
Dan agar, dan semoga, perlahan-lahan stigma negatif ‘sudah
tua kok masih nonton kartun’, bisa hilang. Saya pikir, apapun mediumnya tidak
masalah. Karena karya yang bagus, tetaplah bagus walau penikmatnya hanya anda
seorang.
No comments:
Post a Comment