Monday, 11 February 2019

Sudah tua kok nonton kartun melulu?!




Ada masa di Indonesia, stasiun-stasiun televisi serempak menyiarkan program-program animasi dari Negeri Sakura. Acara ini, kemudian secara jamak disebut dengan kartun, mengikuti animasi-animasi dari Amerika yang lebih dahulu terkenal oleh masyarakat seperti Tom & Jerry dan Mickey Mouse. Sementara itu di negara-negara barat, animasi dari Jepang lebih dikenal sesuai nama asli dari negara penciptanya: anime.


Anime merajai acara hiburan di Indonesia pada era 1990an akhir hingga 2000an awal. Judul-judul seperti Doraemon, Saint Seiya, Sailormoon, Dragon Ball, menjadi kenangan indah bagi pemirsanya saat itu. Belum lagi acara tokusatsu seperti Ksatria Baja Hitam, Ultraman, atau Jiban, ikut meramaikan demam budaya Jepang. Kala itu, sesungguhnya penonton anime bukan hanya kalangan anak-anak. Kultur otaku sudah mulai berkembang diantara remaja dan dewasa di Indonesia. Namun, sepertinya yang berlanjut ke masa kini sedikit melenceng.

Seperti yang saya katakan di awal, kala itu,anime disamakan dengan kartun seperti Mickey Mouse atau Winnie the Pooh. Salah satunya pula disokong dengan kepopuleran Doraemon, Dragon Ball atau Astroboy, yang sejatinya memang diperuntukkan untuk semua umur, maka kartun ini dan kawan-kawannya, membentuk mindset pada orangtua bahwa anime adalah tayangan anak-anak. Memasuki era 2000an awal, anime-anime dengan genre semua umur nyatanya semakin banyak ditayangkan. Captain Tsubasa, Pokemon, Hamtaro, P-Man, Maruko Chan, Cardcaptor Sakura, merupakan sedikt dari judul-judul yang target utamanya (di Jepang sana) adalah anak dan remaja. Orangtua lantas tak ambil pusing dan membiarkan anak-anak menonton kartun di televisi rumah.

Demam budaya Jepang mulai menurun di awal dekade selanjutnya. Pada tahun 2010, sudah sedikit anime yang tayang di televisi nasional. Kalaupun tayang, hanya ada dua-tiga stasiun televisi yang ‘berani’ menyiarkannya. Itupun tak lama. Sementara itu, anak-anak yang tadi dibiarkan menonton kartun oleh orangtuanya, kini sudah beranjak dewasa. Sayangnya, sebagian dari mereka mengadopsi pemikiran orangtua, bahwasanya anime adalah kartun dan untuk anak-anak, lalu meninggalkannya. Adapun sebagian lain mungkin masih mengikuti anime-anime kesukaannya yang ternyata belum selesai, lalu melanjutkan hobi mereka. Sementara itu di Indonesia, mulai berkeliaran penjahat utama semua tayangan luar: sensor film. Pada awal masa-masa sensor belum seketat sekarang saya ingat masih bisa melihat Hisoka dan Gon dari serial Hunter X Hunter pukul-pukulan di televisi. Namun lama kelamaan kita bahkan tidak bisa melihat Naruto berdarah karena di alih warna menjadi hitam putih. Sensor menjegal anime. Mulai dari adegan kekerasan hingga adegan sensual, sensor mulai membabat adegan-adegan di anime. Anehnya pada saat yang bersamaan di masa kini, saya masih sering melihat lelucon-lelucon jorok di acara-acara primetime. Saya masih gampang melihat anak-anak muda pukul-pukulan di sinetron mengenai geng motor remaja. 

Dan saya yakin ada hubungan sebab-akibat yang menyebabkan hal ini: anime dianggap untuk anak-anak sehingga bila memiliki adegan kekerasan atau seksual haruslah dibabat sehingga anime tak lagi ditayangkan di televisi karena televisi lebih banyak merugi karena penontonnya tak lagi menikmati anime tersebut.

Seiring demikian, orang-orang yang masih ingin melihat nasib Konoha dan penasaran dengan petualangan Luffy mulai mencari kelanjutan seri favorit masing-masing melalui internet. Ironisnya, fans anime seperti mereka banyak dianggap kekanak-kanakan, tak kunjung beranjak dewasa (seperti mereka), atau malah dicap orang aneh. Mindset ‘kartun itu untuk anak-anak’ masih melekat di otak orangtua, dan bertumbuh pula di kalangan dewasa baru. 

Karena apa? Karena anime tak lagi ada di televisi.

Dan kalaupun ada, pihak televisi langsung menyasar penonton anak. Wajar bila orang-orang tak lagi terbiasa dan menganggap orang-orang yang mencari kartun tersebut adalah orang-orang yang kekanak-kanakan.  
Di Jepang sendiri, sebenarnya anime lebih banyak tayang pada malam hari. Ini karena mereka mengerti, bahwa tayangan anime memang kebanyakan bukan untuk anak. Lalu, apakah kita bisa mengubah mindset tadi?

Seharusnya bisa. Dan sejujurnya, ada sangat banyak sekali judul-judul anime yang jauh lebih berkualitas dan memiliki pesan moral daripada film-film Hollywood populer yang masih cukup reguler ditayangkan di televisi nasional. 

Saya sendiri memiliki saran, untuk mengubah persepsi bahwa anime adalah santapan anak-anak, seharusnya stasiun televisi mulai melirik anime-anime ‘dewasa’ yang tak banyak mengandung konten kekerasan dan seksualitas untuk ditayangkan, di jam-jam film malam hari pukul 21.00 atau 22.00. Sebut saja judul-judul seperti Mushishi, Space Brother, Silver , Spoon, atau Natsume Yuujinchou. Untuk lebih memberi kesan bahwa tayangan tersebut untuk dewasa, sebaiknya stasiun televisi tak perlu mengalih bahasakan anime-anime tersebut. Cukup diberi subtitle Indonesia seperti halnya film-film bioskop yang tayang di televisi.

Baik, mungkin ada kendala di harga. Hak siar anime, apalagi yang umur tayang di negara asalnya masih baru hitungan tahun, sangat mahal. Dan lagi pasti ada kekhawatiran mengenai laku atau tidaknya judul tersebut bila dibawa masuk Indonesia. Namun saya pikir, dengan berkembangnya internet dan cepatnya penyebaran informasi, sepertinya tidak sulit untuk memasarkannya dan mengharap rating share yang baik. Buktinya, film-film anime yang belakangan mulai ramai kembali dibawa masuk oleh salah satu jaringan bioskop dalam negeri, selalu ditunggu banyak peminat. Begitupula forum-forum dan akun-akun media sosial yang mengatasnamakan penggemar anime, pengikutnya bisa sampai puluhan ribu. Badan sensor yang terkesan tebang pilih masih bisa diatasi dengan menghadirkan anime-anime yang ‘aman’ dikonsumsi bahkan oleh remaja. Dan saya rasa ada perlunya pihak stasiun televisi mempekerjakan orang-orang yang lebih paham mengenai seluk beluk tayangan asing –bukan hanya anime agar tayangan di televisi nasional tidak monoton dan membosankan.

Dan agar, dan semoga, perlahan-lahan stigma negatif ‘sudah tua kok masih nonton kartun’, bisa hilang. Saya pikir, apapun mediumnya tidak masalah. Karena karya yang bagus, tetaplah bagus walau penikmatnya hanya anda seorang.

No comments:

Post a Comment