Monday, 28 August 2017
Monday, 3 July 2017
Sakurasou no Pet na Kanojo
Dan setelahnya, Sakurasou dipenuhi kenangan-kenangan yang mendewasakan mental setiap penghuninya.
Saturday, 10 June 2017
Ulasan Sahara the Flower Samurai
Sahara the Flower Samurai adalah sebuah manga singkat yang ditulis oleh Shibata Yuusaku (yang konon adalah mantan asisten Eiichiro Oda).
Bertemakan keadaan bumi setelah perang besar, dan seluruh daratan berubah menjadi padang pasir dengan robot-robot raksasa, Sahara sang samurai bunga berkelana
Dalam perjalananya, ia tak sengaja bertemu dengan Yae Tokiro, seorang anak yang membawa-bawa sebuah bunga dan abu mendiang ayahnya, untuk ditaburkan di "pohon kehidupan dunia" (kira-kira seperti itu lah namanya).
Omong-omong, kenapa Sahara disebut samurai bunga? Tak lain tak bukan karena pedang yang ia miliki bukanlah pedang/katana biasa. Pedang itu memiliki kekuatan untuk berubah (dan merubah sesuatu?) menjadi tanaman.
Hanya ada empat chapter, dengan 50an halaman. Ceritanya singkat dan jelas, tak banyak karakter yang tampil, tak banyak konflik yang terjadi. Namun gambar yang tersaji sangat baik. Tensi cerita dibangun dengan cepat, dengan tidak membuang-buang waktu menceritakan berbagai hal (yang seharusnya bisa saja dipanjang-panjangkan, kalau Shibata-san mau), dan aksi-aksi yang diberikan benar-benar memanjakan mata.
Saya sangat menikmatinya. Pertarungan yang hebat tanpa menunggu ratusan chapter, serta kekuatan yang ajaib-tapi-masuk-akal dari Sahara membuat tak ada momen meh pada manga ini.
Sahara sebagai seorang yang kuat tidak mengekspos (atau tidak sempat, mungkin) sisi naif karakter utama yang biasanya mengemban seluruh nasib tokoh dalam manga secara lebay. Ia datang, bertarung, menang. Vini vidi vici. Viva la vida.
8/10.
Friday, 9 June 2017
Baccano!
Satu lagi: Openingnya keren!
Sunday, 23 April 2017
The Space Between Us - Potensial, Tapi....
The Space Between Us merupakan film science-fiction mengisahkan seorang anak yang lahir dan besar di Planet Mars, berkunjung ke bumi untuk mencari orang yang ia cintai, dengan keterbatasan tubuhnya beradaptasi pada Bumi. Dibintangi antara lain Asa Butterfield, Britt Robertson dan Gary Oldman, The Space Between Us menawarkan cerita science fiction yang ringan dan segar, tak mendikte seperti The Martian atau thrilling seperti Interstellar. Juga tentunya tak se-epic Star Wars. Film ini justru lebih terlihat menyasar penonton remaja.
Gadner sang bocah Mars, diperankan dengan sangat baik oleh Asa Butterfield (sebelumnya mungkin kita mengenalnya melalui film Hugo atau Ender's Game), namun Britt Robertson sebagai Tulsa terlihat biasa saja. Saya bahkan tak bisa melihat perbedaan karakter antara Tulsa dan peran Britt sebelumnya, Casey Newton di Tomorrowland (yang menurut saya filmnya sangat php).
Bahkan sang Gary Oldman sang Jim Gordon di Batman Nolan Trilogi terlihat begitu klise.
Boleh diakui, ide cerita film ini begitu menarik, namun eksekusi pada keseluruhan aspek film terlihat kurang cermat. Saat Gadner kabur dari pusat penelitian dan berjalan-jalan di bumi, terlihat inkonsistensi bahwa terkadang ia terlihat seperti orang bumi biasa, namun terkadang ia tidak terbiasa pada aktifitas manusia bumi pada umumnya. Misalnya ia mendapat sebatang coklat merk Mars. Tidak ditunjukkan bagaimana ia mendapatkannya, apakah membeli di supermarket atau di mesin penjual otomatis, (kedua-duanya tentu adalah suatu hal yang menarik namun tidak ditunjukkan!) dan membingungkan bagaimana ia bisa membelinya. Katakanlah ia bisa membelinya, mempelajari dari internet misalnya (di Mars diceritakan ada internet), namun beberapa ungkapan umum seperti 'I'm sorry to hear that' tak mampu ia pahami. Anehnya ia mengerti kata 'badass' bukanlah termasuk derivasi dengan makna negatif dari 'bad'. Padahal semua ini adalah kata yang umum dari internet.
Karakter Tulsa cukup bisa dipahami, namun cenderung cheesy. Saya yakin kesalahan terletak bukan pada aktor dan aktris, melainkan pada skrip.
Ada beberapa adegan atau alur yang tak cukup penting di film ini seperti adegan pencarian pada seorang shaman atau adegan mencuri sinyal dan foto candid di kafe.
Ah..dan satu hal lagi, adegan puncak film ini sangat...cheesy. Berkeju. Seakan-akan semua citra science-fiction serius yang dibangun di beberapa bagian film dimentahkan begitu saja, tersulap menjadi film-film remaja kelas B.
Satu hal yang cukup membahagiakan menonton The Space Between Us, adalah chemistry antara Gadner dan Tulsa terbangun dengan erat (walau cukup mengecewakan di akhir). Serta pemandangan di sepanjang film begitu indah. Secara keseluruhan, film ini jauh lebih baik dari Tomorrowland, tetapi belum mumpuni untuk menjadi science-fiction favorit. 6.8/10
Thursday, 13 April 2017
Paterson, memfilmkan puisi.
Paterson, sebuah film drama yang bercerita mengenai supir bus dengan kegemarannya berpuisi. Nggak perlu ada spoiler, karena isi filmya hanya itu: bus dan puisi. Ah ada istrinya yang agak..weird dan anjingnya yang sedikit banyak menyebalkan.
Paterson menceritakan Paterson, sang supir bus di wilayah Paterson. Agak membingungkan memang, ketika nama anda dan nama kota tempat anda tinggal sama. Dari segi cerita, harus saya akui, film ini berjalan dengan sangat....lambat. Serta tidak ada fluktuasi ketegangan konflik dalam film. Tidak ada satu kejadian dalam film yang berbelok drastis atau menyobek perhatian kita. Kekuatan dari film ini adalah kenyamanan. Kita serasa melihat diary diri sendiri. Kealamian dalam setiap adegannya muncul dalam pikiran kita sebagai kemakluman dan pengakuan. Menonton Paterson serasa bukan menonton film, melainkan kita seperti diajak ikut tahu apa yang Paterson lakukan sehari-hari.
Mengenai konflik yang saya sebutkan di atas, sebenarnya bukan tidak ada. Paterson banyak menghadapinya, namun, semua itu adalah konflik yang ternyata sehari-hari kita alami. Menghadapi permintaan istri yang kurang masuk akal, diganggu seseorang saat lagi serius, melihat seorang anak kecil yang ternyata mungkin lebih hebat dalam bakat yang kita banggakan, semua konflik batin sehari-hari itu mewarnai keseluruhan film.
Mari bicara soal puisi.
Puisi dalam film ini cukup menyentuh. Khas-nya puisi modern berbahasa inggris, tak banyak bebungaan kata. Namun feel dalam kata-katanya begitu tulus dan jujur. Pengambilan gambar saat Paterson berpuisi menunjukkan sisi dramatik dari pekerjaan supir.
Kesimpulannya, film ini agak membuat mengantuk, namun gambar-gambar yang tersaji sangat indah, begitu pula puisinya. Ceritanya realistis, konflik sehari-hari yang kita semua bisa saja mengalaminya.
7.5/10
Friday, 7 April 2017
A Monster Call, terlalu berat untuk masyarakat Indonesia?
Saat memutuskan menonton A Monster Call akhir tahun lalu, saya sama sekali tak ada bayangan filmnya seperti apa. Melihat posternya di bioskop, saya menebak-nebak film ini akan berkisar mengenai anak-anak yang masuk ke dunia fantasial penuh monster.
We o we my friend, salah besar.
A Monster Call menyajikan cerita drama yang menyentuh ruang terdalam di hati manusia, ruang yang paling purba, dari alam bawah sadar masing-masing hidup: hubungan ibu dan anak. Gilanya, film ini lantas bukanlah menceritakan manis getir hubungan tersebut, melainkan langsung menyodorkan kita suatu keadaan pahit mengenai sang ibu yang harus dihadapi Conor, anak usia sekolah dasar -yang sering dibully teman-temannya, sendirian.
Sebuah pohon, secara menakjubkan, tiba-tiba hadir dalam hidup si anak berupa sebuah monster yang dapat berbicara lalu menceritakan beberapa kisah, yang pada akhirnya semua kisah tersebut akan mengajaknya melihat kehidupan.
Film ini terkesan dark di beberapa bagian, ada sentuhan fantasi pada si monster pohon, namun tentu, drama yang sangat solid tercipta di seluruh bagian film.
Ah, saya juga harus bilang bahwa pemeran Conor, Lewis MacDougall, benar-benar bagus dalam berperan.
Saya agak terkejut ketika ada artikel yang membahas A Monster Call di socmed dan reaksi masyarakat Indonesia dalam komentar yang bertebaran mengerucut pada satu hal: A Monster Call ga enak!
Kebanyakan commenter menyesalkan tidak adanya unsur fun, fantastical, terlalu gelap (cerita yang terlalu suram atau 'gloomy') bahkan ada yang bilang bahwa film ini akan mengajarkan anak-anak berimajinasi aneh-aneh.
Haha.
Pertama. Maaf bung, tidak ada yang bilang ini film anak-anak. Kedua. Bukankah Lord of the Ring atau Harry Potter malah lebih berpotensi membuat anak-anak, bahkan remaja, untuk mengkhayal aneh-aneh? Seperti misalnya berandai-andai Daniel Radcliffe akan menjadi pacarnya (seandainya mereka melihat Daniel berperan di Swiss Army Man!).
Saya mengerti, orang-orang pergi ke bioskop mencari hiburan. Dan berdasarkan survey dua detik yang saya lakukan di dalam otak, hampir 80% orang pergi ke bioskop bersama pacar atau teman-teman. Hanya segelintir yang memang ingin duduk santai menikmati film dan mencoba meresapi keindahan gambar-gambar bergerak tersebut. Bioskop menjadi pelarian untuk menghabiskan waktu dan uang bersama pacar atau teman-teman setelah tak tahu lagi harus nongkrong di mana. Jika yang seperti ini yang menonton A Monster Call, tentu wajar jika yang mereka dapat bukan tawa-tiwi kecil, melainkan 100 menit pesan-pesan mendalam yang mereka tak siap menerimanya.
Jujur, saya sendiri menangis ketika menontonnya di bioskop. Terlepas dari saya yang memang cengeng ketika menonton film, film ini memang layak mendapat air mata. Keindahan cara sang monster pohon membantu Conor menghadapi kondisi ibunya benar-benar luar biasa. Keras, kadang menyesakkan, namun pada akhirnya kita akan mengatakan "Ah, benar. Ya. Semuanya memang harus seperti itu."
Terakhir, A Monster Call adalah drama yang sangat bagus. Jika anda tak bisa menerimanya, ya tak apa. Karena A Monster Call memang bukan film untuk bersenang-senang.
Tuesday, 28 March 2017
Menerka Nasib Conan Edogawa
Detective Conan. Sebuah manga yang saat ini usianya lebih kurang 23 tahun. Sebuah manga yang alur ceritanya sudah tak perlu saya ceritakan lagi karena hampir seluruh masyarakat Indonesia pasti tahu. Sebuah manga yang bahkan saat ini hampir menyentuh 1000 chapter, dan filmnya (the movie, bukan episode anime) sudah mencapai 19 film. Tapi sialnya, sampai detik tulisan ini dibuat, conan tak kunjung mendapat aptx 4869 -sang obat penyembuh kesusutan tubuhnya, atau setidaknya menunjukkan kemajuan signifikan dalam pencarian organisasi jubah hitam.
Beberapa manga atau anime memang sah-sah saja tidak tamat, atau bahkan kalau bisa harus terus ada. Sebut saja Doraemon, Shinchan, atau manga lain yang sifatnya series. Namun, Detective Conan memulai cerita dengan premis yang keren, menuntun dan menuntut pembaca untuk terus mengikuti perkembangan cerita karena ada satu hal yang membedakan manga jenis ini dengan manga series: tujuan.
One Piece, Naruto, HunterXHunter, dan banyak lagi manga lain yang semuanya memiliki tujuan akhir. Pun demikian Detective Conan, dengan tujuan akhir yang diharapkan: Conan kembali berubah menjadi Shinichi, menangkap Organisasi Jubah Hitam, menikah dengan Ran Mouri. tamat. Tapi oh tapi, tujuan itu sepertinya semakin tak dipedulikan oleh Aoyama Gosho, sang mangaka (pengarang). Chapter-chapter semakin banyak, namun isinya hanyalah cerita yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan benang merah garis besar cerita. Belum lagi masalah timeline. Dalam beberapa chapter awal, Shinichi digambarkan menggunakan telepon rumah atau telepon umum. Beratus chapter kemudian (yang dalam timeline komik hanya hitungan bulan) Shinichi yang telah malih jadi Conan 'dipaksakan' memiliki handphone. Jenis handphone yang ia gunakan bahkan berganti rupa mengikuti jaman. Di tahun 2000-an awal, handphone calmshell menjadi pegangannya. Dan beratus chapter kemudian, di tahun 2010, handphone yang ia pegang sudah menjadi touchscreen, dengan linimasa komik yang hanya beberapa bulan.
Dan selama 900 chapter yang terlewati, kalau saya tidak salah, sudah tiga kali festival tahun baru, beberapa kali musim panas dan dingin, serta tiga atau empat kali film Gomera tayang di bioskop. Semua itu, hanya terjadi kurang dari setahun dari linimasa komik.
Aoyama Gosho tentunya punya hak penuh tentang kapan kiranya ia akan menamatkan petualangan Conan. Hal itu seharusnya gampang saja, mengingat seluruh pemain sudah ada di 'panggung'. CIA, FBI, Organisasi Jubah Hitam, Kepolisian Jepang, semua sudah dilibatkan. Jika Aoyama ingin mengakhiri keegoisannya, prediksi dari saya, hanya butuh 20-30 chapter (2-3 buku fisik) untuk menyelesaikan semuanya. Itu sudah termasuk pembuka kasus, kemunculan epic bos Jubah Hitam, kejar-kejaran, tembak-tembakan, drama tangis-tangisan Ai, Ran dan Shinichi, keterlibatan dan kedatangan Heiji, Kazuha, Kepolisian dari Beika, Tokyo hingga Osaka, bahkan Radish, inspektur dari Amerika itu, bila perlu. Lalu gambarlah penyelesaian semuanya, termasuk nasib Kaito Kid, Saguru, atau Renya Karasuma sekalian.
Ya, ya. Saya ini pembaca Conan sejak jaman baheula. Komiknya tak pernah alpa dibeli oleh kakak saya atau saya. Hingga akhirnya kebosanan itu memuncak, mendidih dan pating plenyuk memaksa saya untuk tak lagi membeli komiknya. Saya tak ingin berburuk sangka mengatakan Conan hanya mendulang uang selagi masih laku..tapi ah, rasanya tak akan hilang pikiran itu hingga sensei Aoyama mau menamatkan Detective Conan.
Sunday, 26 March 2017
Tertawa Bersama The Sound Of Your Heart
Cho Seok, atau Jo Seok, dengan karyanya The Sound Of Your Heart, mungkin tidak terlalu dikenal di Indonesia. Pun di Webtoon versi English, viewernya 'hanya' ratusan ribu, kalah jauh dibandingkan Shen, pencipta komik The Blue Chair, yang mencapai angka viewer 2,3 juta. Bahkan ketika The Blue Chair mengadakan polling pembaca, separuh pembacanya berasal dari Indonesia! Ingat, ini adalah Webtoon versi English.
Angka ini sedikit banyak menunjukkan betapa masyarakat Indonesia khususnya pembaca webtoon, juga menggemari komedi-komedi yang berhubungan dengan keseharian, atau dalam genre Webtoon dikatakan sebagai 'Slice of Life'. Jika kita membaca The Blue Chair, maka di akhir chapter akan ada beberapa rekomendasi komik lain. Salah satunya: The Sound Of Your Heart.
Jujur, saya sendiri tak begitu tertarik ketika melihat kavernya. Gaya menggambarnya sedikit jauh dari kesan 'mainstream'. Melihat Cho Seok dan karyanya mungkin bisa diibaratkan seperti melihat Crayon Shinchan diantara kartun-kartun (anime) minggu pagi yang apik-apik dan kepalanya tak begitu peyang kesana-kemari.
Tapi sungguh, jika selera humor anda adalah Crayon Shinchan, Bakabon, Hagemaru dan sejenisnya yang memusatkan pada kelucuan (atau kegilaan, ah, mungkin lebih tepatnya kesomplakan) keluarga dan kehidupan sehari-hari, The Sound Of Your Heart menawarkan level humor berkali-kali lipat dari Shinchan.
Bayangkan saja situasi dimana Seok sekeluarga pantatnya teriritasi cairan pembersih, dan mereka tak bisa duduk atau tidur berhari-hari baik di restoran, bus, maupun kelas. Atau ketika Seok masuk dalam acara Running Man namun ketika seluruh tetangga datang, adegan dirinya (yang hanya beberapa detik) sudah habis.
Kebanyakan cerita dibangun berdasarkan situasi yang simpel namun dari pandangan absurd Seok sekeluarga. Tak jarang solusi yang dikeluarkan mereka jauh dari akal sehat manusia. Namun semua itu, keadaan dan kegiatan absurd yang ia lakukan dan berujung pada kelucuan yang tidak lebay atau dibuat-buat. Setiap episodenya selalu menawarkan jokes yang cerdas, dan menggelitik otak kita sampai terkaing-kaing tak karuan. Dan hal ini membuat saya mewanti-wanti pada diri sendiri: Jangan pernah baca The Sound Of Your Heart di depan umum!
Jenis humor The Sound Of Your Heart tentu berbeda dari The Blue Chair ala Shen, yang lebih banyak menyoroti keadaan dan kenelangsaan diri sendiri. Jikalau anda penggemar cerita humor-humor classy macam kartun Disney Junior (yang seringkali menyisipkan inside joke khas Amerika, yang tak semua orang bisa menerimanya), mungkin Cho Seok akan mengejutkan anda, dan kemudian mengatakan bahwa The Sound Of Your Heart adalah komik aneh yang tak ada lucu-lucunya. Tapi cobalah untuk membacanya. Cobalah, untuk mendengarkan The Sound Of Your Heart.
Saturday, 28 January 2017
Paddle Pop Pink Lava
Lalu, apa gerangan?